Hidroponik, Solusi Pertanian Lahan Sempit

Keterbatasan lahan ternyata bukanlah hambatan untuk bertani. Dengan sistem pertanian hidroponik hambatan lahan bisa diatasi dengan hasil yang tak kalah bagusnya dengan sistem pertanian konvensional. Halaman rumah yang tak begitu luas pun disulap menjadi kebun hidroponik dengan memanfaatkan pipa-pipa dan botol-botol plastik bekas. Kalau mau memenuhi kebutuhan pangan sendiri maka bisa pakai hidroponik, lebih sehat dan tanpa biaya besar karena berasal dari kebun sendiri dan tak tergantung pada musim. Bahkan di wilayah pesisir dengan iklim panas pun bisa tumbuh dengan baik.

Menanam dengan polybag itu kesulitannya cari tanah untuk digunakan menanam, sementara dengan hidroponik cukup menggunakan air yang jumlahnya pun tak begitu banyak. Syarat utama hidroponik ini memang pada ketersediaan air, yang bisa berasal dari sumur bor, sisa buangan AC dan bahkan bisa menggunakan air PDAM. Ada yang pernah coba pakai air PDAM dan hasilnya baik. Saya sendiri tidak melakukannya karena pertimbangan adanya kandungan kaporit di dalamnya.

Untuk penyemaian bibit biasanya menggunakan bahan yang disebut rockwool, yang bisa dibeli di toko tani atau online. Media lain adalah sekam bakar, sabuk kelapa, dan bahan-bahan lain yang sifatnya lembab. Masa tumbuh tanaman di semaian bervariasi. Untuk sawi atau selada misalnya, dalam 24 jam sudah berkecambah. Setelah 7 – 10 hari biasanya sudah siap tanam. Tanaman hasil semaian ini kemudian ditempatkan di wadah tanaman yang disebut netpot.

Perlu untuk diketahui bersama, sistem pertanian hidroponik ini bukannya tanpa masalah. Masalah yang biasa dihadapi adalah PH air yang bisa meningkat tajam karena faktor cuaca panas. Untuk solusinya, yaitu dengan menambahkan cuka dapur secukupnya untuk menurunkan PH. Masalah lain yang kadang muncul adalah serangan hama berupa ulat. Solusinya menggunakan pestisida nabati yang bisa dibuat sendiri menggunakan daun serai dan lombok yang dicampur dan difermentasi. Inilah yang kemudian disemprotkan pada tanaman yang terserang.


Prinsip hidroponik

Prinsip pertanian hidropik ini adalah budidaya tanaman yang tidak lagi menggunakan tanah sebagai media tanam, tetapi memanfaatkan air yang telah diberi nutrisi untuk tanaman. Air di bak penampung harus dicampur dengan nutrisi yang mengandung unsur hara karena dibutuhkan oleh tanaman, dari situ lah tanaman mendapatkan makanan sehingga bisa tumbuh baik.

Pada dasarnya tanaman membutuhkan dua unsur, yaitu unsur makro yang disebut NPK. Selain itu ada mikro, yaitu unsur tertentu yang harus dimiliki tanaman dalam jumlah sedikit dan harus ada, seperti Natrium, Boron dan unsur-unsur lainnya. Kedua unsur ini kemudian diracik dalam satu ramuan yang kemudian disebut AB Mix. A untuk makro dan B untuk mikronya, yang dilarutkan ke dalam air untuk sumber makanan bagi tanaman.

Model pertanian hidroponik ini memiliki sejumlah variasi. Model paling sederhana adalah model menggenang, dengan hanya menggunakan botol-botol bekas dan styrofoam, yang disebut metode wig atau sumbu. Ada juga metode rakit apung, dimana styrofoam dilubangi dan diapungkan di dalam kolam.

Metode yang lebih kompleks adalah metode Deep Flow Tehnique (DFT) dengan meletakkan akar tanaman pada lapisan air kedalaman berkisar antara 4-6 cm. Metode lain adalah Nutrient Film Technique (NFT), dimana medium berupa kemiringan sekitar 5 derajat dengan aliran air yang tipis. Ada juga metode Dutch Bucket, yang khusus untuk tanaman buah, seperti lombok, tomat dan terong.

Pada hidroponik, semua jenis sayuran bisa dibudidayakan, baik itu sayuran daun seperti sawi, pakcoi, seledri, kangkung, bayam ataupun sayuran buah seperti tomat dan labu, melon, kol dan kembang kol. Tanaman-tanaman lain yang cocok adalah tanaman hias dan tanaman-tanaman herbal seperti ginseng, mint dan binahong.

Terkait biaya, besarnya tergantung pada sistem hidroponik yang dipilih. Jika menggunakan metode sederhana berupa wig atau sumbu tak membutuhkan banyak biaya karena hanya menggunakan barang-barang bekas, seperti botol-botol plastik dan styrofoam.

Dengan metode yang sudah menggunakan teknologi, seperti DFT atau NFT, biayanya cukup besar sebagai investasi awal. Untuk membangun instalasi DFT membutuhkan biaya sekitar Rp3 juta, dengan syarat dikerjakan sendiri atau tanpa menggaji orang lain untuk mengerjakannya. Rincianmya menggunakan 6 batang pipa yang harga totalnya Rp600 ribu. Lalu ada atap dan rangka sekitar Rp2 juta-an. Kemudian pompa aquarium 30 watt yang harganya sekitar Rp150 ribu. Sisanya untuk pembelian netpot dan medium penyemaian.”


Berawal dari Teman
Ketertarikan pada pertanian organik ini berawal dari teman yang sudah terlebih dahulu menekuni dunia hidroponik terkait urban farming dua tahun silam. “Saya lihat kebun hidroponiknya sambil bertanya caranya lalu saya paktekkan di halaman rumah.”

Meski tak memiliki basis pendidikan pertanian, saya tak begitu kesulitan mempelajari pertanian hidroponik ini. Apalagi saya memang berasal dari keluarga yang suka bercocok-tanam, sejak kecil sudah akrab dengan berbagai macam jenis tanaman yang memenuhi halaman rumah.

Awal-awal mulai hidroponik saya sempat gagal namun dari kegagalan itu justru mendapatkan pengetahuan yang lebih banyak. "Pada penyemaian pertama kali saya gagal karena tidak dijemur dan disimpan di dalam ruangan. Tanaman menjadi memanjang kutilang atau istilah pertaniannya etiolasi.”
Previous
Next Post »